Jantung Hati

Sabtu, 18 September 2010
Hari ini saya mati,
Jenazah saya dikebumikan beramai-ramai oleh teman-teman. Istri dan anak-anak saya menangis di tepi gundukan kuburan saya. Mereka lupa berdoa karena sedihnya. Istri saya mendekap ketiga anak saya yang masih kecil, persis induk ayam melindungi anaknya.
Banyak teman yang menangis juga. Mereka seperti tak percaya bahwa hari ini tubuh saya yang masih segar dimasukkan ke liang lahat. Mereka sangat kehilangan karena kepergian saya yang tiba-tiba dalam usia muda. Saya kena serangan jantung.

Siang itu,
Saya memburu teroris yang baru saja meledakkan bom disebuah mall. Kobaran api menghanguskan sebgaian dinding dan langit-langit toko parfum, korban bergeletakan di antara bongkahan tembok dan pecahan kaca.
Menurut sopir yang beristirahat di lapangan parkir, ada seorang pria berjaket yang lari kencang keluar dari mal sebelum bom meledak.
Saya, yang setiap hari melewati mal itu, kebetulan meyaksikan semburan asap dan api, buru-buru mengejar teroris yang menurut saksi mata lari ke arah timur.
Rupanya jantung saya tidak kuat lagi menanggung ketegangan, putuslah perangkat itu, dan saya lantas duduk terkulai dibelakang setir tak bangun-bangun lagi.

Baru saja saya tiba di alam lain,
Tubuh saya dan sejumlah yang lain berupa entah. Bersayap, lentur, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, mengalun, ke mana-mana. Lalu muncul sekuntum malaikat di depan saya.
Kami lalu mengerumuni malaikat yang mematung itu. Tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung. Rasanya dia adalah sekuntum malaikat yang mencabut nyawa saya : Izrail.

Saya masih ingat, pernah berterus terang kepada pacar saya, yang kemudian menjadi ibu anak-anak saya itu, bahwa saya punya cita-cita menjadi malaikat. Mendengar omongan saya itu, dia tergelak-gelak.
”memangnya kamu orang suci, kok ingin menjadi malaikat,” kata dia waktu itu, sambil menyeruput jus tomatnya.
”Lho, memangnya ada syarat kesucian untuk jadi malaikat?”
”Lalu apa syaratnya kalau bukan kesucian?”
”Kalau begitu tidak ada manusia yang bisa jadi malaikat dong?”
”Emang.”

Tiba-tiba tubuh Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya,
dari mawar, lalu melati,
kemudian kenanga, lantas bunga matahari,
lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet.

Tanpa memberi isyarat, gerakan badan atau tangan, supaya saya begini dan begitu, malaikat itu bergulir lurus. Tak juga menoleh ke arah saya, seperti tak kenal atau tak mau tahu.
Alam sekeliling tampak berkabut, bening, dan sejuk.

Ternyata kematian itu membahagiakan.
Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala.
Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir. Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan ikut beduka cita sedalam-dalamnya. Yang harus diucapkan mestinya ikut bersuka-ria semeriah-meriahnya.
Karena, ya itu tadi, kematian sangat membahagiakan.

Dunia tinggal kenangan di alam mimpi. Keluarga saya, ternyata keluarga yang ada di dalam impian. Pahit getir ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada.
Tak ada tempat yang lebih buruk seperti dunia sehingga setelah menciptakannya Tuhan pun melengos.

Setiap orang butuh kendaraan. Hanya kapan kendaraan itu ditumpangi, sungguh masalah waktu. Kendaraan hidup, kendaraan mati, hanyalah pemisahan jenis.
Sehat sama saja dengan sakit, sakit sama saja dengan sehat. Lebih baik kadang-kadang sehat, kadang-kadang sakit, baru disini orang tahu persoalan dunia.
Saya mati karena penyakit yang saya dan dokter tidak tahu. Mengapa demikian?
Di dunia segalanya bisa lolos.
Alangkah berjasanya penyakit yang telah menolong saya melakukan perjalanan ke alam yang jauh lebih baik dari ketimbang alam sebelumnya.

Ini semua bertentangan dengan tafsir yang dilakukan para kiai.
Tentang kepedihan dalam alam kubur ini.

Lorong kabut bertambah panjang. Malaikat yang membimbing saya masih tetap berada di depan saya.
Karena takut kalau-kalau dibawa ke neraka, saya menyapanya. Ia tidak menjawab dengan kata-kata, ia menguba-ubah bentuk tubuhnya: dari sekuntum mawar ke sekuntum anggrek ke sekumtum melati ke sekuntum teratai.
Aduuuh indah sekali. Dengan jawaban itu saya jadi ge-er.
Saya bakal tak dibawa ke neraka. Saya tahu, saya banyak dosa, tapi siapa yang mau dicemplungkan ke neraka?

Kabut makin tebal.
Saya dan malaikat itu berenang dalam kabut. Terdengar musik yang lamat-lamat, disusul gesekan biola yang serempak bagai kaki-kaki yang diciumi buih laut di tepi pantai.
Tiba-tiba dari gumpalan kabut depan muncul istri saya dan anak-anak. Begitu melihat saya, keempatnya berlari ke arah saya.
”Ayah! Ayah!” anak-anak menghambur ke dada saya.
Kami berpelukan erat. Sesaat. Mendadak saya sadar.
Perlahan mereka saya lepaskan. Mereka saya tatap satu-persatu.
Bagaimana mungkin istri dan anak-anak menyusul saya secara bersamaan, kalau bukan oleh kekuatan yang sanggup memberangkatkan mereka sekaligus?

Ditulis oleh: Danarto
Tangerang, 12 Oktober 2000