Arungi Pucuk Malam

Senin, 30 Agustus 2010
Gemintang siuman dari tidur panjang, melunta di utara langit.
Angin darat menyeru-nyeru namaku, bisiki tinggalkan rumah. Sekarang !!!
Lautan membutuhkan jiwa baru, tenang tak padam.
Karang merindu debur ombak buritan.
Mari peluk buih-buih lautan lepas seberang sana.
Arungi pucuk malam yang belum terjamah tangan liar,
Mereka ingin menyesap bau darah dalam aorta muda kita
Mereka kan tunggui kini, esok, nanti,
saat ajal membumbung tinggi bawa air ini pergi.

Otak

Hampar alam semesta,
memadat, tanpa cecer.
Beberapa kepal.
Pejal

Kehilangan

Minggu, 29 Agustus 2010
Kala merasakan pelik gemulir pasir
lekat erat sudut mata,
kau mulai rindu ketika menghapusnya.

Menerawangi Mendung Seratus Hari

Jumat, 27 Agustus 2010
Kepergian selalu beriringan isak tetangis,
ratapan sendu yang ditinggalkan,
tetapi lihatlah senyum tulusnya,
rela tanggalkan satu-satunya dimiliki di dunia,
pupus bersama kerinduan Sang Pencipta.

Air sungai seakan berhenti mengalir,
detak jam dinding seakan tak memihak,
ilalang pun diserapahi,
menari gembira tak tahu diri.
Hanya gemerisik guruh mendung yang menyertai kemelut,
tanpa sandaran kayu tegakkan langkahku.

Sendiri, menerawangi seratus hari yang akan tiba
Melihat hentak-hentak cangkul ratakan tanah,
wewangian kembang ; kenangan, mawar, kanthil, melati.
Aku sendirian hanya tersisa telapak kaki tak pendar,
gulita terus mengakar.

Aku terhenyak ketika tangan-tangan
mulai berkata tentang ketabahan,
mata yang sembab seakan mengerti
apa yang akan ku ucap.

Selamat tinggal, selamat berpulang.
Kelak bila temui jalan pulang,
janganlah sungkan untuk singgah kembali
pada pelataran rumahku.

Abu Lahab

Jumat, 13 Agustus 2010
Abdul Uzza bin Abdul Muthalib,
namamu tercap di segala lidah malaikat,
manusia mungkin juga.
Namamu juga menggores
di kitab suci umat terbanyak dunia.
Menjadi kisah sang penakluk jahanam

Pembawa api kekal pada
bani termahsyur waktu lampau.
Semangatmu menjulur-julur, mengakar
kuat berkobaran.

Batu berjumpalitan kau lempar
pada utusan Tuhan
sebagai tanda kau menyayangi
keponakan bertinggi derajat itu.
Beribu cinta kau persembahkan
lewat cacian.

Sayang alang kepalang anakmu
tidak dapat menebus segala bentuk cercah cahaya.
Remuk harapan berlenggok ria di gemawan
putih nan rupawan.
Ya, kau lah si Abu Lahab, si lima ayat terkenal.

Remah-remah Langit

Senin, 02 Agustus 2010
Kami yang terlahir dari remah-remah langit,
yang selalu menangis bercaki bukit, dan
mencaci kematian bulan sabit, dan
menenun umur hasil karbit, dan
karibkan wangi mayit.

Sebab ketika itu segala warna-warni
telanjang menguliti adanya kami !!!