Ayah Belahan Tubuh, Membatu

Kamis, 23 September 2010
Pernah kita terperangkap dalam awan jingga,
berkisah danau tua yang mengering tiba-tiba,
ikan disana terkapar menatap musim
yang enggan bergulir, dan nasibnya
yang centang perenang. Seperti waktu
kita melihat layang-layang putus mengabadikannya
dalam poteret kelam sebagai kenang-kenangan
bila mata kita mulai hanya bisa meraba tanpa
mengetahui prasangka dari berbagai macam bentuk benda.
Mulutmu begitu masam kali ini, tetapi tetap saja kita tidak beranjak dari senja.

Ayah, puteramu hanya sebongkah batuan
magma yang selalu cair,
tanpa tahu apa itu rasanya menjadi matang
dan padat, merasakan gemerisik angin ladang
yang mengelus dadamu yang bidang, dan
memang terasa kelapangannya.
Aku pun tak sanggup menitikkan air mata lara,
ketika tubuhmu terbelah seketika oleh godam
jingga yang akhirnya berputar hanya… hanya… untukmu.