Di Bangku Ini Kita Berceritera

Senin, 06 September 2010
Tetes hujan yang menggenang di pelupukmu,
seolah ada yang akan berakhir di penghujung hari ini.
Saat jejemari saling mengait tetapi debaran yang dulu
tiba telah sirna, padam seiring malam.

Di bangku ini sayang, tempat aku dahulu menambatkan kata
yang tercurah dari lubuk dada.
Di bangku ini sayang, tempat kau menganggukkan kepala
di bawah remang lampu merkuri sebagai tanda
kau membuka pintu jiwamu.

Kemudian akhir hari ini kita alami kekosongan makna, rasa.
Tak ada tatapan rindu yang memerahkan pipi.
Tak ada rona dalam mata kita lagi.
Apakah kau ingin pergi menyusu segala rindang gemawan putih?

Andai segala rasa pengisi hampa ada di etalase-etalase toko
pancawarna itu tersedia, tentu kan kubeli segala
yang teristimewa demi kita,
dan penuhi hari saat tak pernah jumpa
dengan bulir rindu sedemikian rupa.

Aku tak pernah kecewa kalau kita berubah dalam masa singkat.
Aku takkan memendam ribuan kesumat di bibir
yang sering memercik kata-kata syahdu untukmu.

Sekarang silahkan berangkat menaiki kereta kencana takdirmu.
Jemputlah segala nuansa baru,
karena kebersamaan kita hanya batu seberat hampa
teronggok percuma.