Menerawangi Mendung Seratus Hari

Jumat, 27 Agustus 2010
Kepergian selalu beriringan isak tetangis,
ratapan sendu yang ditinggalkan,
tetapi lihatlah senyum tulusnya,
rela tanggalkan satu-satunya dimiliki di dunia,
pupus bersama kerinduan Sang Pencipta.

Air sungai seakan berhenti mengalir,
detak jam dinding seakan tak memihak,
ilalang pun diserapahi,
menari gembira tak tahu diri.
Hanya gemerisik guruh mendung yang menyertai kemelut,
tanpa sandaran kayu tegakkan langkahku.

Sendiri, menerawangi seratus hari yang akan tiba
Melihat hentak-hentak cangkul ratakan tanah,
wewangian kembang ; kenangan, mawar, kanthil, melati.
Aku sendirian hanya tersisa telapak kaki tak pendar,
gulita terus mengakar.

Aku terhenyak ketika tangan-tangan
mulai berkata tentang ketabahan,
mata yang sembab seakan mengerti
apa yang akan ku ucap.

Selamat tinggal, selamat berpulang.
Kelak bila temui jalan pulang,
janganlah sungkan untuk singgah kembali
pada pelataran rumahku.