Jangan Lupakan Ibu, ya pak!

Rabu, 29 September 2010
Kristal-kristal yang perlahan meleleh di kening
bapak hampir terasa garam,
amat masam.
Tiap garis yang menekuk
di kening mengingatkan umur yang tak
lagi bening, kusam terasah berpenuh kerakal tajam.
Lintasan tualang panjangmu,
entah berapa tikung tajam terlewati dengan terseok,
terpeleset, terpingkal oleh
aspal panas jalan siang.

Beberapa saat lagi bapak, sabarlah sebentar duhai manusia paling utama.
Kau akan terlelap meninggalkan jejak segala keletihan dunia.
Kau akan tenang dalam belai isterimu yang terus akan mengenang kau seorang.
Kau akan bersanding dengan bidadari bersayap rama-rama, tapi jangan kau lupakan ibuku, ya pak!

Sepucuk Surat Inginku

Sungguh, bayangan dirimu kian berdentang,
bangkit kembali dari kendaga yang sudah
kularung pada tepi lautan, ombak rupanya telah khianat!

Sosok dirimu muncul lewat: kalimat ibu matahari,
goresan embun pada pagi yang suci, aroma kelopak melati.
Apakah dirimu juga merindu seperti
diriku yang membuat buyar pandangan mataku, kini.
Sepucuk surat telah kutulisi dengan
segala hati yang berpenuh pesona cahaya parasmu,
yang terkadang membuat termangu dan hirau waktu bergulir.
Kembali ingin kusapa jiwa ranummu.
Sayang inginku sebatas aliran aorta hitam.

Tuah Kopi

Kamis, 23 September 2010
Katanya biji kehitamanmu adalah
buah kutukan dari negeri berantah,
dikisahkan dalam dongeng dari turunan
yang berapa entah.
Engkau bersanding di meja para pembesar
bercangkir kristal, berjejar di meja warung kopi
sebagai penyumpal ternggorokan yang tak pernah
mengenal tawarnya nasi.

Gelas demi gelas kuresapi, meretas
segala apa yang belum kupahami dalam
bicaramu, penuh ketawadhuan aku menyesap,
lesaplah kamu dalam biji mataku.

Ayah Belahan Tubuh, Membatu

Pernah kita terperangkap dalam awan jingga,
berkisah danau tua yang mengering tiba-tiba,
ikan disana terkapar menatap musim
yang enggan bergulir, dan nasibnya
yang centang perenang. Seperti waktu
kita melihat layang-layang putus mengabadikannya
dalam poteret kelam sebagai kenang-kenangan
bila mata kita mulai hanya bisa meraba tanpa
mengetahui prasangka dari berbagai macam bentuk benda.
Mulutmu begitu masam kali ini, tetapi tetap saja kita tidak beranjak dari senja.

Ayah, puteramu hanya sebongkah batuan
magma yang selalu cair,
tanpa tahu apa itu rasanya menjadi matang
dan padat, merasakan gemerisik angin ladang
yang mengelus dadamu yang bidang, dan
memang terasa kelapangannya.
Aku pun tak sanggup menitikkan air mata lara,
ketika tubuhmu terbelah seketika oleh godam
jingga yang akhirnya berputar hanya… hanya… untukmu.

Perantauan di Dalam Matamu

Sekembalinya aku dari perantauan yang
menghabiskan bulir air mata biru kehidupan,
rasanya aku ingin kembali menari pada kejernihan
bebola matamu, sebab petualangan di dalam samudera
matamu takkan melelahkan, cukup aku tertidur dalam
pelukkannya. Karena kamu adalah bunda segala alam
nirwana tempatku kembali merasakan aroma
germbur tubuhmu. Tanah hangat, aku hilang
dalam rayuan kecup maut, kemudian hidup
dalam keperawanan kembali.

Ada Apa Dengan Subuh?

Pernah aku bertanya pada suatu sore yang
menguncup kelelahan, kepada orang-orang yang
menyukai nama beranda, sembari duduk berleha,
di kursi goyang atau bersila pada dipan yang
menatap murung jingga terakhir ini hari.
Aku menanyai, apakah makna embun pada tiap Subuh?

Orang-orang malah kian sibuk menelusuri kata-kata
pada koran kemarin, ada yang menoleh seakan
pandangan matanya menuduh, kemudian meleleh dan
mendadak kuyu,
bibirnya gemetar seakan kaya yang keluar adalah halilintar.

Tak ada jawaban apapun,
hanya segelintir bisik yang
berbicara tentang keindahan alun Adzan Subuh.

Embun pagi itu tidak ada dan takkan
pernah terlihat, sebab orang-orang mulai
mengacuh terhadap Subuh, keranda, dan
mata air swargaloka.

Kekasih Ilalang

Selamat pagi kekasih ilalang,
kau adalah air bercahaya kesedihan
bersemayam di mega tadi malam.
Tak ada yang hiraukan dirimu,
hanya kejernihan hati yang
dapat menangkap rintih ratapanmu.
Sebentar lagi kau akan melesap pergi,
kembali ke awang-awang bersama kecup matahari.

Jantung Hati

Sabtu, 18 September 2010
Hari ini saya mati,
Jenazah saya dikebumikan beramai-ramai oleh teman-teman. Istri dan anak-anak saya menangis di tepi gundukan kuburan saya. Mereka lupa berdoa karena sedihnya. Istri saya mendekap ketiga anak saya yang masih kecil, persis induk ayam melindungi anaknya.
Banyak teman yang menangis juga. Mereka seperti tak percaya bahwa hari ini tubuh saya yang masih segar dimasukkan ke liang lahat. Mereka sangat kehilangan karena kepergian saya yang tiba-tiba dalam usia muda. Saya kena serangan jantung.

Siang itu,
Saya memburu teroris yang baru saja meledakkan bom disebuah mall. Kobaran api menghanguskan sebgaian dinding dan langit-langit toko parfum, korban bergeletakan di antara bongkahan tembok dan pecahan kaca.
Menurut sopir yang beristirahat di lapangan parkir, ada seorang pria berjaket yang lari kencang keluar dari mal sebelum bom meledak.
Saya, yang setiap hari melewati mal itu, kebetulan meyaksikan semburan asap dan api, buru-buru mengejar teroris yang menurut saksi mata lari ke arah timur.
Rupanya jantung saya tidak kuat lagi menanggung ketegangan, putuslah perangkat itu, dan saya lantas duduk terkulai dibelakang setir tak bangun-bangun lagi.

Baru saja saya tiba di alam lain,
Tubuh saya dan sejumlah yang lain berupa entah. Bersayap, lentur, melenting-lenting, dan bersinar, melayang, mengalun, ke mana-mana. Lalu muncul sekuntum malaikat di depan saya.
Kami lalu mengerumuni malaikat yang mematung itu. Tubuh malaikat itu dipenuhi mata yang bukan main banyaknya, boleh jadi tak terhitung. Rasanya dia adalah sekuntum malaikat yang mencabut nyawa saya : Izrail.

Saya masih ingat, pernah berterus terang kepada pacar saya, yang kemudian menjadi ibu anak-anak saya itu, bahwa saya punya cita-cita menjadi malaikat. Mendengar omongan saya itu, dia tergelak-gelak.
”memangnya kamu orang suci, kok ingin menjadi malaikat,” kata dia waktu itu, sambil menyeruput jus tomatnya.
”Lho, memangnya ada syarat kesucian untuk jadi malaikat?”
”Lalu apa syaratnya kalau bukan kesucian?”
”Kalau begitu tidak ada manusia yang bisa jadi malaikat dong?”
”Emang.”

Tiba-tiba tubuh Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya,
dari mawar, lalu melati,
kemudian kenanga, lantas bunga matahari,
lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet.

Tanpa memberi isyarat, gerakan badan atau tangan, supaya saya begini dan begitu, malaikat itu bergulir lurus. Tak juga menoleh ke arah saya, seperti tak kenal atau tak mau tahu.
Alam sekeliling tampak berkabut, bening, dan sejuk.

Ternyata kematian itu membahagiakan.
Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala.
Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir. Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan ikut beduka cita sedalam-dalamnya. Yang harus diucapkan mestinya ikut bersuka-ria semeriah-meriahnya.
Karena, ya itu tadi, kematian sangat membahagiakan.

Dunia tinggal kenangan di alam mimpi. Keluarga saya, ternyata keluarga yang ada di dalam impian. Pahit getir ternyata berada di sebuah dunia yang tidak ada.
Tak ada tempat yang lebih buruk seperti dunia sehingga setelah menciptakannya Tuhan pun melengos.

Setiap orang butuh kendaraan. Hanya kapan kendaraan itu ditumpangi, sungguh masalah waktu. Kendaraan hidup, kendaraan mati, hanyalah pemisahan jenis.
Sehat sama saja dengan sakit, sakit sama saja dengan sehat. Lebih baik kadang-kadang sehat, kadang-kadang sakit, baru disini orang tahu persoalan dunia.
Saya mati karena penyakit yang saya dan dokter tidak tahu. Mengapa demikian?
Di dunia segalanya bisa lolos.
Alangkah berjasanya penyakit yang telah menolong saya melakukan perjalanan ke alam yang jauh lebih baik dari ketimbang alam sebelumnya.

Ini semua bertentangan dengan tafsir yang dilakukan para kiai.
Tentang kepedihan dalam alam kubur ini.

Lorong kabut bertambah panjang. Malaikat yang membimbing saya masih tetap berada di depan saya.
Karena takut kalau-kalau dibawa ke neraka, saya menyapanya. Ia tidak menjawab dengan kata-kata, ia menguba-ubah bentuk tubuhnya: dari sekuntum mawar ke sekuntum anggrek ke sekumtum melati ke sekuntum teratai.
Aduuuh indah sekali. Dengan jawaban itu saya jadi ge-er.
Saya bakal tak dibawa ke neraka. Saya tahu, saya banyak dosa, tapi siapa yang mau dicemplungkan ke neraka?

Kabut makin tebal.
Saya dan malaikat itu berenang dalam kabut. Terdengar musik yang lamat-lamat, disusul gesekan biola yang serempak bagai kaki-kaki yang diciumi buih laut di tepi pantai.
Tiba-tiba dari gumpalan kabut depan muncul istri saya dan anak-anak. Begitu melihat saya, keempatnya berlari ke arah saya.
”Ayah! Ayah!” anak-anak menghambur ke dada saya.
Kami berpelukan erat. Sesaat. Mendadak saya sadar.
Perlahan mereka saya lepaskan. Mereka saya tatap satu-persatu.
Bagaimana mungkin istri dan anak-anak menyusul saya secara bersamaan, kalau bukan oleh kekuatan yang sanggup memberangkatkan mereka sekaligus?

Ditulis oleh: Danarto
Tangerang, 12 Oktober 2000

Semalam Tak Ada Malam

Senin, 13 September 2010
Sudah kucari segala jejak tandu yang
dulu sering membawanya tuk
mendekap langit, dengan berjuta kerinduan
bagai sepasang merpati bercumbu
dalam sarang kelembutan.

Terlampau lama aku menunggu sedang
rembulan sudah siap menaksir
setiap gulita yang akan hangat
oleh keredupan samarnya.

Bagaimana aku bisa bermimpi bila tak mengecup malam?

Sedang senja sudah melewati batas takdirnya,
memupukkan kalimat rohaninya pada para penyair.

Semalam tak ada malam.

Pelupuk mata sudah menangkap
isyarat kejora, menjentikkan sinarnya
kepada petualang arena perkotaan.

Mendung bukanlah penggganti gulita
yang disenangi para penjaja cinta,
karena mendung tak sanggup menggenggam seantero warna.

Bagaimana aku bisa menutup mata dan
bertemu bayang pacarku yang berkunjung meminta cium?

Semalam tak ada malam.

Pukul 24.00

Minggu, 12 September 2010
Dor… Dor… Dor….
Aku sekarat dalam lelap.

Kembang Telaga

Sabtu, 11 September 2010
Dua Puluh Tiga bulan lalu,
sewaktu usia kita terasa muda
harum kembang telaga.

Kita bagai pucuk
yang akan retas dunia,
tantang gemawan
berangkasa.

Hijau. Karena kita
memang baru akan meniti
sesuatu yang terasa baru,
sesuatu yang belum
pernah kita hirup.

Menghimpun tiap bagian dendang
butir tetes gemawan yang lekas turun,
sementara kita masih
belum siap akan takdir nyata,
belum siap membuka mata.

Kita masih terlalu hijau waktu itu,
wahai pucuk daun pertama.

Isi Kepalaku Adalah Hari Senin,

Isi kepalaku adalah hari senin,
terus menggeliat.
Ketika segala alur tubuh mulai melepas
yang mulai terasa kekal. Membuka lipatan tiap
lembaran tagihan-tagihan
pertanyaan tentang nuansa alam.
Kerisauan dari siklus awan yang
tiada henti kelana ke sudut jiwa manusia.
Putaran waktu yang selalu bergerak maju,
tak pernah gentar dalam langkah,
seperti bidak catur tatap nanar mata raja.

Berdenyut tanpa sedikit luput,
menerus tanya,
menerus tanda kelaparan makna.

Tak ada lampu lalu lintas disini,
sekian waktu terhenti. Aku mati
dalam keberadaan tersangsi.

Mencerap segala pendaran yang tertangkap indera.

Tentu setiap gejulak ombak berbatas karang,
menghasil buih tidak seimbang.
Tetapi aku lebih senang meniti
batas luar jeruji
yang diyakini sudah mempunyai jawaban pasti.
Batas nalar yang dikehendaki tak ada tanya kembali,
tak boleh dilirik apalagi dititi.

Di Bangku Ini Kita Berceritera

Senin, 06 September 2010
Tetes hujan yang menggenang di pelupukmu,
seolah ada yang akan berakhir di penghujung hari ini.
Saat jejemari saling mengait tetapi debaran yang dulu
tiba telah sirna, padam seiring malam.

Di bangku ini sayang, tempat aku dahulu menambatkan kata
yang tercurah dari lubuk dada.
Di bangku ini sayang, tempat kau menganggukkan kepala
di bawah remang lampu merkuri sebagai tanda
kau membuka pintu jiwamu.

Kemudian akhir hari ini kita alami kekosongan makna, rasa.
Tak ada tatapan rindu yang memerahkan pipi.
Tak ada rona dalam mata kita lagi.
Apakah kau ingin pergi menyusu segala rindang gemawan putih?

Andai segala rasa pengisi hampa ada di etalase-etalase toko
pancawarna itu tersedia, tentu kan kubeli segala
yang teristimewa demi kita,
dan penuhi hari saat tak pernah jumpa
dengan bulir rindu sedemikian rupa.

Aku tak pernah kecewa kalau kita berubah dalam masa singkat.
Aku takkan memendam ribuan kesumat di bibir
yang sering memercik kata-kata syahdu untukmu.

Sekarang silahkan berangkat menaiki kereta kencana takdirmu.
Jemputlah segala nuansa baru,
karena kebersamaan kita hanya batu seberat hampa
teronggok percuma.

Mati Langkah

Sabtu, 04 September 2010
SKAK MAT !!!

Pemain kecewa. Penonton kecewa.

Presiden kecewa. Kosmos kecewa.

Alpa Pikiran

Bersyukur aku dapat melupa, mengurai berai ingatan segala perjalanan.
Lupa tiap kerakal tertancap di sela jemari kaki, lupa sayatan di hati buat sekujur pikiran terasa ngilu, lupa tiap permainan cinta yang menyakiti dan tersakiti nyeri.

Sejak mulai menghirup udara lewat temali pusar, aku sudah dibuat lupa, kapan terjadinya bentuk diriku, mengapa ruh ku betah tinggal di tubuh rapuh ini, atau perjanjian apa yang telah aku sepakati dahulu.

Entah mengapa lupa menjadi populer saat diri ini memutih kepala, seakan lupa menjadi senang menyapaku sepagi hari.

Lupa kata-kata mutiara yang terlontar, seakan aku ingin mengingkar.
Buat apa bersusah pikir, biarkan angin melena semuanya, rasakan tiap detaknya belai helai rerambutku.

Maaf aku lupa!!

Kufur

Jumat, 03 September 2010
Melupa aku
segala
Berpijak kepada tiada.
Abadi bersama asap dunia.
Amin?

Asap Itu Mengoyak Iman

Kamis, 02 September 2010
Belum lagi rembulan surut cahaya di subuh yang sibuk kumandang adzan dan
bukit ungu membeku setelah hujan.
Raungan sirene menjeda perhatian, beradu pekak swara dengan adzan merintih tindih.
Ada asap di hujung angkasa, meninggi hendak penuhi semesta raya.

Kami memandang linglung, berhenti langkah menuju tanah penghambaan diri pada Yang Esa.
Raungan milik sinar merah mendidihkan darah sekujur tubuh.
Itu arah kampung kami yang berwarna kuning keemasan, berlenggok cahaya.

Panik, kalut, sakit  tak tahu apakah masih ada ruang gembira dihati 
Bergegas sebahagian tuju kampung berwarna bara, sebahagian khusyuk, tumaninah dalam perjalanan ke surau.

Tuhankah, sanak saudarakah, harta bendakah, yang harus menjadi kepingan terpenting iman kami?
Langkah kami bimbang, seakan tempayan gelinding hendak menabrak dinding.

Kami sudah tak hirau panggilan nurani.
Dunia kami sudah suram sedari tadi.

Rumah Baru

Kau lihat susunan bata merah teramat elok, mengelilingi sudut-sudut tanah.
Genting cokelat yang meneduhkan dari senyum hangat mentari dan
keintiman tarian titik air sunyi.
Itulah rumahku, sebuah kesederhanaan

Segala kisah tentang keluargaku ada disana ; sedih, gembira, tawa, maupun nestapa.

Pagi ini bahak buldozer akan singgah di beranda rumahku.
Ayah termangu memunguti sisa ingatan di lorong waktu.
Sebab kami disini sudah sejak ayah-ayah-kakek ku.

Ganas sekali buldozer itu mengaum, cium ringkih dinding.

Ayah, mari kita pindah.
Kolong jembatan sana lebih kokoh sepertinya.